09 Juni 2009

menjadi MUSLIM KAFFAH ?? When i can Yahh??

Seorang muslim wajib masuk Islam secara kaffah, yaitu masuk ke dalam segala syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya. Jika seorang muslim melaksanakan Islam sebagian seraya melaksanakan selain Islam pada sebagian lainnya, itu berarti dia mengikuti langkah-langkah syaitan yang terkutuk. Firman Allah SWT:

Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs al-Baqarah [2]: 208).

Sebab turunnya (sababun nuzul) ayat ini, sesuai riwayat dari Ibnu Abbas berkaitan dengan Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya –para shahabat yang masuk Islam dan dulunya adalah pemeluk Yahudi— yang telah beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan syariat Islam yang dibawa beliau, akan tetapi tetap mempertahankan keyakinan mereka kepada sebagian syariat Nabi Musa AS. Misalnya, mereka tetap menghormati dan mengagungkan hari Sabtu serta membenci daging dan susu unta. Hal ini telah diingkari oleh shahabat-shahabat Rasulullah SAW lainnya. Abdulah bin Salam dan kawan-kawannya berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Taurat adalah kitabullah. Maka biarkanlah kami mengamalkannya.” Setelah itu, turunlah firman Allah surat al-Baqarah [2]: 208 di atas (Majalah Al Wa’ie, no. 159, Rabiuts Tsani, 1421, hal. 14).

Jadi, siapa saja yang telah masuk Islam, dia wajib masuk Islam secara keseluruhannya. Tidak boleh mempertahankan hukum selain Islam, sebab Islam telah menasakh (menghapus) syariat-syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman:

(Al-Qur`an itu) membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (Qs. al-Maa'idah [5]: 48).

Yang dimaksud batu ujian (muhaiminan) artinya adalah penghapus (nasikhan) bagi syariat-syariat sebelumnya. Dengan demikian, mempertahankan sedikit saja dari syariat-syariat sebelumnya –yang tidak diakui Islam—berarti mengikuti langkah-langkah syaitan. Firman Allah SWT:

…dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Makna-makna inilah yang telah dikemukan oleh para ahli tafsir terpercaya. Secara lebih mendalam, Imam Ibnu Katsir menfasirkan ayat di atas (2: 208) dengan menyatakan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin dan mempercayai Rasul-Nya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syari'at Islam, mengerjakan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan seluruh larangan-Nya, sesuai kemampan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz I, hal. 247). Sejalan dengan ini, Imam An-Nasafi, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berserah diri dan ta'at, yakni berserah diri dan ta'at kepada Allah atau Islam. Menurutnya, kata “kaaffah” adalah haal (penjelasan keadaan) dari dlomir (kata ganti) udkhulu (masuklah kalian) yang bermakna jamii'an (menyeluruh/semuanya, dari kalangan kaum mukminin). Diriwayatkan dari Ikrimah, firman Allah di atas diturunkan pada kasus Tsa'labah, 'Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang lain yang telah masuk Islam. Mereka mengajukan konsensi kepada nabi untuk diijinkan beribadah di hari Sabtu. sebagai hari besar orang Yahudi (hari Sabath). Kemudian dijawab oleh Allah dengan ayat di atas. (Tafsir Al-Nasafi, Madarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wil, Juz I, hal.112). Imam Thabari mengutip dari Ikrimah, bahwa ta'wil ayat di atas adalah seruan kepada orang-orang mu'min untuk menolak semua hal yang bukan dari hukum Islam; melaksanakan seluruh syari'at Islam, dan menjauhkan diri dari upaya-upaya untuk melenyapkan sesuatu yang merupakan bagian dari hukum-hukum Islam. (Tafsir al-Thabariy, Jilid II, hal. 337).

Imam Qurthubi menjelaskan bahwa lafadz kaaffah adalah sebagai haal (penjelasan keadaan) dari lafadz al-silmi atau dari dlomir mu'minin. Sedangkan pengertian kaaffah adalah jamii'an (menyeluruh) atau 'aamatan (umum). (Tafsir Qurthubiy, Juz III hal. 18). Bila kedudukan lafadz kaaffah sebagai haal dari lafadz al-silmi maka tafsir dari ayat tersebut adalah Allah SWT menuntut orang-orang yang masuk Islam untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (total). Tanpa ada upaya memilih maupun memilah sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan. Pemahaman ini diperkuat dengan sababun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut yang mengisahkan ditolaknya dispensasi beberapa orang Yahudi, ketika mereka hendak masuk Islam. Tentunya hal semacam ini bukan hanya untuk orang yang mau masuk Islam saja, akan tetapi juga berlaku untuk orang-orang mu'min sebagaimana penjelasan Ibnu Jarir al-Thabari yang mengutip tafsir (penjelasan) dari Ikrimah di atas.

Oleh karena itu, kaum muslimin diperintahkan untuk hanya berserah diri, ta'at, dan melaksanakan seluruh syari'at Nabi Muhammad SAW (yakni Islam), bukan pada aturan-aturan lain.

Dengan demikian, jelaslah, seorang muslim dituntut masuk ke dalam Islam secara menyeluruh. Merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku dirinya Islam, namun mereka mengingkari atau mencampakkan sebagian syari'at Islam dari realitas kehidupan –seperti mengikuti sekulerime. Al-Qur'an dengan tegas mengecam sikap semacam ini, firman Allah SWT:

...Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) serta mengingkari sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat nanti mereka akan dilemparkan pada siksa yang amat keras.” (Qs. al-Baqarah [2]: 85).

Prinsip mengambil Islam secara kaffah inilah yang ditekankan dalam buku karya Drs. H. Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri (GIP, Jakarta, 2000). Dalam buku setebal 453 halaman yang terbagi dalam 11 bab ini, Toto Tasmara menjelaskan pengertian kaffah secara unik. Katanya, “Yang dimaksudkan dengan kaffah, adalah bagaikan seorang yang terjun ke laut. Seluruh tubuhnya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, basah dan asin.” (hal. 49). Dengan bahasa lain, Toto Tasmara mengartikan firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 208 itu dengan ungkapan, “…masuklah ke dalam Islam secara total, menyeluruh (kaffah), dan janganlah ikuti sikap dan cara setan yang ingkar dan membangkang, dan tidak berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya…” (hal. 49). Dalam bagian lain, dia menyatakan, “Kaffah sebagai bentuk dan sikap mengambil al-Qur`an dan as-Sunnah sebagai rujukan hidup…tidak mengikuti jalan lain” (hal. vii).

Dalam buku yang ditulisnya tahun 1996 itu, Toto Tasmara menjelaskan bagaimana kiat menjadi seorang muslim kaffah dalam bab I-IV. Sementara dalam bab V-XI, dia secara khusus menerangkan Kristologi, khususnya komparasi antara al-Qur`an dan Injil (Bibel), yang tujuannya adalah untuk lebih memantapkan keimanan kepada al-Qur`an, karena al-Qur`an memang betul-betul masih murni dan orisinal dari Allah SWT. Ini berbeda dengan Injil yang telah terkotori oleh manipulasi dan pemalsuan akibat perbuatan tangan-tangan manusia yang kafir dan tidak bertanggung jawab. Firman Allah SWT:

Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui (kebenarannya)?” (Qs. Ali-Imran [3]: 71).

Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Alkitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mengatakan, `Ini dari Allah’…” (Qs. al-Baqarah [2]: 79).


Menjadi Muslim Kaffah

Muslim kaffah adalah yang berislam secara menyeluruh. Menurut Toto Tasmara, kiat menjadi muslim kaffah diawali dengan berpikir dan bertindak di bawah naungan al-Qur`an (bab I), memahami misi dan visi muslim kaffah (bab II), menjadi manusia dunia yang berkarakter ulil albab (bab IV), dan mengendalikan potensi hawa (bab IV).

Muslim kaffah, berpikir dan bertindak mengikuti tuntunan al-Qur`an dan as-Sunnah, bukan berpikir secara liar tanpa kaidah (freethinker). Dalam Islam, kegiatan berpikir sangatlah utama sehingga Rasulullah SAW bersabda:

Berpikir sesaat, lebih baik daripada ibadah seratus tahun.” [HR. Ibnu Hibban].

Namun demikian, pemikiran seorang muslim tentu tidak boleh lepas dari tuntunan al-Qur`an dan as-Sunnah, karena keduanya merupakan rujukan hidup seorang muslim. Jika seorang muslim telah mengubah cara berpikirnya mengikuti al-Qur`an, dia akan dapat mengubah dunia. Toto Tasmara menegaskan, “Ubahlah pikiranmu di bawah naungan al-Qur`an, niscaya engkau akan mampu mengubah dunia.” (hal. 11).

Berpikir ini merupakan pangkal dari tindakan. Dan dengan tindakan seorang manusia di dalam interaksinya dalam masyarakat itulah, kualitas seorang individu diukur. Sedang berpikir itu sendiri, berpangkal dari pengalaman-pengalamannya, yakni seluruh perenungan dan hubungan dengan dunia luar yang kemudian ditangkap, dimengerti, dan disimpan dalam sistem memori individu, yang pada saatnya nanti digunakan sebagai landasan tindakan dan perilaku (hal. 10).

Agar seseorang dapat berpikir Qur`ani, mau tak mau dia harus akrab dan sering bergaul dengan al-Qur`an, misalnya dengan membiasakan diri membaca, menelaah, dan membicarakan makna kandungan al-Qur`an, juga membiasakan diri dengan menghafal hadits, karena hadits menjelaskan operasional al-Qur`an (hal. 16).

Lalu apa misi dan visi seorang muslim kaffah? Misi seorang muslim adalah melaksanakan dan membuktikan secara nyata segala perintah dan amanah Allah, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`an dan diteladankan oleh Rasulullah SAW (hal. 46). Salah satu amanah Allah adalah perintah-Nya untuk memenangkan Islam dari segala ajaran, ideologi, dan agama lainnya. Firman Allah SWT:

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur`an) dan agama yang benar, untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (Qs. at-Taubah [9]: 33).

Dengan memahami misi, maka setiap pribadi muslim mempunyai visi, posisi, dan aksi sebagai : pejuang kebenaran untuk menegakkan agama Allah, pemimpin yang teladan, pionir yang penuh inisiatif dan kreativitas, pelita yang menerangi relung kehidupan, dan penebar rahmat bagi seluruh alam (hal. 47).

Seorang muslim kaffah adalah adalah manusia yang mendunia, artinya tidak mengasingkan diri atau tidak cuek terhadap urusan masyarakat, tapi sebaliknya harus terjun dalam kehidupan dunia, peduli terhadap urusan masyarakat dan dunia, dengan tetap tidak melupakan akhirat sebagai tujuannya (ultimate goal) sebagaimana firman Allah SWT:

Dan carilah pada apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu (berupa kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (Qs. al-Qashshash [28]: 77).

Untuk bisa meraih keduanya (dunia dan akhirat) seorang muslim menjadi ulil albab, yaitu individu yang berakal, yang menggabungkan potensi potensi pikir dan zikir (hal. 122) (lihat Qs. Ali-Imran [3]: 190-191).

Selanjutnya, seorang muslim kaffah haruslah mampu menguasai dirinya, yakni seorang “master” yang mampu mengendalilkan hawa nafsunya. Pengendalian terhadap ambisi dan dorongan-dorongan hawa nafsu merupakan salah satu kriteria seorang muslim yang sangat rindu mencapai derajat kaffah. Dan kunci untuk pengendalian hawa nafsu, terletak pada pikiran, keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan kita sendiri (hal. 140).


Perbandingan al-Qur`an Dan Injil

Pada bab V-XI Toto Tasmara banyak menekankan pada studi Kristologi, terutama penjelasan tentang penyimpangan Injil. Meski demikian Toto mengawali studi ini dengan menunjukkan “keajaiban” al-Qur`an dengan metode matematis. Metode yang lebih mendasarkan diri pada prinsip “othak- athik- gathuk” (yang penting terasa pas,cocok) ini memang menarik, meskipun ada pula sebagian ulama dan intelektual yang menentangnya. Misalnya, jumlah kata fardhu, di dalam al-Qur`an disebut sebanyak 17 kali, sama dengan jumlah rakaat shalat. (hal. 203). Jumlah kata shalawat di dalam al-Qur`an disebut 5 kali, sama dengan jumlah shalat wajib sehari semalam (hal. 201). (Padahal bisa saja, jumlah itu digunakan untuk menjustifikasi sesuatu yang lain yang tidak ada sama sekali hubungannya dengan al-Qur`an, misalnya jumlah kata fardhu yang 17 itu, bisa dianggap cocok dengan tanggal proklamasi RI, 17 Agustus, atau jumlah kata shalawat yang 5 tadi bisa dianggap cocok dengan jumlah sila dalam Pancasila!)

Mengenai penyimpangan dan pemalsuan Injil, Toto Tasmara banyak memberikan contoh. Misalnya, adanya informasi yang tidak sama antara satu ayat dengan ayat lain, padahal topik pembicaraannya itu-itu juga. Dalam II Tawarikh 9:25 dikatakan, “Solomon mempunyai empat ribu kandang kuda untuk keretanya dan dua belas ribu orang berkuda.” Sementara dalam I Raja-Raja 4:26 disebutkan, “Solomon mempunyai empat puluh ribu kandang kuda untuk kereta-keretanya dan dua belas ribu orang berkuda.” Mana yang benar, empat ribu kandang kuda atau empat puluh ribu kandang kuda? (hal. 262)

Disebutkan pula oleh Toto Tasmara kepalsuan Injil yang terlihat dari kekurangajarannya menggambarkan perilaku sebagian Nabi. Padahal tidak mungkin seorang nabi melakukan suatu kebejatan dan dosa, misalnya mabuk dan berzina. Dalam Kitab Kejadian 19:30-38 disebutkan perilaku mabuk dan zina yang dilakukan oleh Nabi Luth. “Lot (Nabi Luth) mabuk, dan selama beberapa malam bergiliran meniduri kedua putrinya dan kedua putri itu mengandung…” Ini sangat berbeda al-Qur`an yang menjelaskan Nabi Luth sebagai orang saleh, bermoral luhur:

Dan Kami masukkan dia (Luth) ke dalam rahmat Kami, karena sesungguhnya dia termasuyk orang-orang yang saleh.” (Qs. al-Anbiyaa` [21]: 75) (hal. 264).

Menurut Toto Tasmara, metode mengungkap kepalsuan Injil seperti ini bertujuan untuk menambah keimanan kepada al-Qur`an yang berulangkali mengungkapkan adanya penyisipan informasi yang tidak orisinal pada Injil, dan juga untuk menyuburkan iman yang ada pada dada kita semua (hal. 257).


Catatan Akhir

Sebagai penambah wawasan dan pemerluas cakrawala berpikir, buku karya Toto Tasmara ini kiranya cukup menarik untuk dibaca. Hanya saja memang diperlukan sedikit catatan atau kritik positif demi kesempurnaan dan kemurnian pemahaman kita tentang Islam. Toto Tasmara misalnya lebih menyoroti aspek kaffah dari segi individu muslim, tetapi tidak menjelaskan cakupan ajaran Islam yang menyeluruh dalam konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat (seperti keharusan adanya sistem ekonomi dan politik Islam) yang dengan itu bisa diketahui bahwa kita sudah berislam secara kaffah atau tidak. Dia juga kurang cermat menggunakan istilah “mujahid” sehingga dia membuat istilah “mujahid dakwah” (hal. x), padahal istilah mujahid secara syar’i hanya digunakan untuk orang yang berperang secara riil di medan perang melawan kaum kafir, misalnya muslim yang berperang dengan kaum kafir di Maluku atau Palestina. Juga definisi “iman” yang diartikannya sebagai “keberpihakan kepada al-Qur`an dan as-Sunnah” (hal. 48). Padahal, hakikat iman adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiq jazim) terhadap segala sesuatu yang dikabarkan Rasulullah SAW kepada kita melalui al-Qur`an dan as-Sunnah (Lihat Taqiyyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz I, 1990), sedang keberpihakan adalah buah dari pembenaran atau iman itu, bukannya iman itu sendiri. Toto Tasmara nampaknya juga belum terlalu peka terhadap ide-ide kufur dari Barat yang sebenarnya kontradiktif dengan Islam semacam pluralisme dan demokrasi (hal, xii dan hal. 388), sehingga dia tidak mengomentarinya sebagai ide yang perlu diwaspadai. Padahal kedua itu sangat bertentangan dengan Islam (Lihat buku Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam, 1997).

Terlepas dari kekurangan itu, buku Toto Tasmara memang cukup menarik dan informatif. Bahasanya tidak terlalu berat, bahkan cenderung bercorak sastera yang mencoba menyentuh perasaan dan emosi kita. Barangkali yang sangat perlu kita ambil darinya adalah semangatnya yang tinggi, menggebu-gebu, dan menderu-deru, yaitu semangat untuk berislam secara kaffah. Semoga kita semua memang sedang menuju ke arah sana.

[Disampaikan dalam acara bedah buku Menuju Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri karya Drs. H. Toto Tasmara, di Kampus Jurusan Eknomi Islam STAIN Surakarta SEM Institute, Jumat 20 Oktober 2000]

1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus